Selasa, 12 Agustus 2014

Untuk Kamu (Fiksi)


Selamat pagi. Sudah rutinitasku menyapa kertas berukuran 5x6 cm itu, setidaknya sampai kertas itu lusuh, terkena air atau hilang. Tapi aku jamin kertas itu akan selalu aman padaku. Di dalamnya ada seorang yang memakai kebaya, dan satunya lagi mengenakan setelan jas rapi dengan dasi menggantung di lehernya.

Keduanya tak sedang menghadap ke kamera, namun keduanya sama-sama tertawa kecil. Entah apa yang mereka tertawakan, tapi mereka tidak sedang menertawakan hal yang sama. Mereka tidak saling beradu pandang, justru menatap hal yang sama sekali berlawanan. Siapa pun yang melihat foto itu akan menyimpulkan begitu.

Perempuan dengan kebaya cokelat dan rambut disanggul dengan tusuk konde berwarna gelap itu adalah aku. Dan laki-laki di sampingnya adalah kamu. Foto itu diambil saat perpisahan SMA dulu. Sebetulnya dalam foto itu ada banyak orang, namun aku sengaja meng-crop foto itu, ya karena hanya di foto itulah kita terlihat 'dekat' walaupun itu tak sengaja.

Duniaku hanyalah seluas foto 5x6 sentimeter, bersama kamu yang tidak pernah menyadari hal itu, atau mungkin tidak mau. Sekilas terdengar klise saat aku bilang hanya kamulah yang selalu mengganggu pikiran ini. Tapi coba kamu lihat lebih dalam apa yang sebenarnya terjadi di luar duniamu. Ah aku lupa, kamu selalu bahagia dalam duniamu, tentu. Duniamu terlalu luas untuk sekedar melihatku yang terkurung dalam fantasi dan metafora senja yang berukuran nanometer bagimu dan kau tidak ingin melihat senja. Yang kamu mau hanyalah mentari yang menyapa hangat wajahmu, bukannya rembulan yang hanya mampu membiaskan cahaya.

Aku mencoba menjadi pelangi untukmu saat percikan hujan membasahi tubuhmu. Tapi kamu memalingkan wajahmu, menolak melihat spektrum warna itu karena kamu bilang tidak menyukainya. Perlahan aku mundur agar kamu bisa tersenyum kembali.

Lalu aku mencoba menjadi oksigen untukmu. Kali ini aku pasti berhasil karena siapapun tak akan menolak dalam hal ini. Tapi aku salah, ada jutaan bahkan sekian giga atau lebih partikel oksigen disini, aku kalap. Aku hanya berukuran satu kali sepuluh pangkat minus sekian dan tak perlu berusaha mundur pun aku telah tamat, domain ruang tidak menyisakan satu celahpun untukku.


Aku ingin sekali saja menyusup ke dalam hatimu supaya bisa kulihat apa saja yang berada disana. Adakah sepersekian bagian yang masih kosong disana? Agar aku bisa masuk ke dalamnya. Tak perlu meminta izin padamu karena aku takut lagi-lagi kamu menolaknya.


Aku teringat percakapan terakhir kita..
"Mil, ada reuni XII IPA .... Tuh. Mau ikut?"

"Ah, engga kayaknya. Sori dan." Balasku lewat sms, yang sebenarnya aku ingin ikut, tapi belum sanggup liat dia lagi.


Mila dan Ramadhan. Begitu aku selalu menuliskan tiga kata itu di setiap lembar kertas paling belakang di buku tulisku, dengan ukuran yang super kecil tentunya supaya tak ada orang lain yang bisa lihat.


....Empat Tahun Kemudian....

Dingin menyelimuti kota Bandung di bulan November ini. Aku menyusuri jalanan dago malam ini. Cahaya lampu berpendar memenuhi sebagian langit kecil jalan ini, namun masih tetap kalah oleh jutaan bintang disana. Aku teringat saat SMA dulu pernah 'terpaksa' ikut naik motor kamu saat ada acara try out SBMPTN di salah satu kampus disana. Saat itu aku senang, teramat senang malah tapi kamu mungkin tidak. Aku bisa melihat jelas raut di wajahmu. Kamu memang selalu seperti itu, datar.
---

Saat ini aku hanya tersenyum mengamati aktivitas di luar kaca mobil. Lalu gerimis turun dan orang-orang di luar segera berteduh. Tiba-tiba seseorang mengetuk kaca mobilku dan sepertinya ia kedinginan di luar sana. Aku membuka kaca mobil sesaat sebelum aku menutup mulutku, seolah tak percaya dengan siapa aku bertemu detik ini....

Bersambung...

0 komentar:

Posting Komentar