Sinopsis:
Dia selalu membangga-banggakannya. Dia selalu memamerkannya, memangnya kenapa? Kalau aku memilikinya, tak perlu berlebihan layaknya anak kecil yang dijanjikan balon oleh ibunya untuk sekedar “meredam” tangis sesaat.
Dia punya segalanya. Dia bisa memilikinya. Tapi aku? Aku punya orang-orang hebat di sekitarku…. Amih, Apih, Bang Leo, Mamang, Maryam, Lily, Hasan, Otong, Dilla, dan Rara.
Dia… ah sudahlah. Perempuan itu mencintai laki-laki yang sama. Dia tahu itu. Kita sama-sama tahu. Aku terluka, namun entah bagaimana dengan dia. Aku tak peduli lagi. Tapi sebagian diriku yang lain mengingkari untuk tak peduli dengan laki-laki itu. Aku mencintainya.
Hingga suat saat aku pergi menjauh, bukan karena tak sanggup melihat dia bersama dirinya. Tapi satu mimpi besarku menunggu disana, di daratan jauh ratusan kilometer darinya.
Saat aku kembali, apakah semuanya berbeda? Akankah berubah seperti dulu, sebelum “kamu” mengenal perempuan itu?
Karena aku percaya, waktu takkan tega menghianati….
Prolog: Aku Melihat Sketsa Wajahmu
Dia mengaduk-ngaduk kopi di hadapannya, setidaknya sejak beberapa menit lalu saat pandanganku tak sengaja tertuju ke arahnya. Namun tatapannya tak tertuju pada satu titik pun, ia membebaskannya. Entah apa yang sedang dipikirkan pria itu, nampaknya secangkir kopi yang ia pesan pun sudah terlanjur dingin. Ia sendirian di meja itu, hanya ditemani beberapa buah buku semacam jurnal dan satu buku agak tebal, dengan laptop setengah tertutup.
“Vin…”
Aku tersadar dari lamunanku sendiri, maksudku terbangun dari pikiranku yang menebak-nebak apa yang terjadi pada pria yang duduk tak jauh di depan meja kami.
“Kok bengong?” Maryam melambaikan tangan kanannya tepat di depan wajahku.
“Liat deh pria itu, kasian ya, lagi galau berat kayaknya.. sampe segitunya.”
“Haha, kamu dari tadi ngeliatin dia?” balas Maryam.
Aku cuma mengedikkan bahu sebagai balasan pertanyaan Maryam tadi.
---
Hari itu adalah pertemuan yang sangat spesial dengan sahabatku Maryam, setelah tiga tahun kami berpisah dan masuk Universitas yang berbeda, di kota yang berbeda pula. Namun entah mengapa aku selalu tertarik memandang ke arah pria dengan tatapan kosong itu. Aku baru menyadari suatu hal dalam diri pria itu yang juga mirip dengan…. Seseorang di masa lalu yang udah membiarkan sekeping hati ini terluka, amat dalam.
Tapi aku buru-buru menghilangkan ingatan itu, karena aku sadar hari ini jarang banget bisa ditemukan.
Waktu untuk bertemu sahabat akan sangat berharga dibanding memikirkan hal yang “kurang” jelas. Tapi sebagian dari sel neuron ini menolak, tiba-tiba saja ingatanku melayang ke masa-masa itu, dua tahun yang benar-benar udah menguras banyak waktu, pikiran dan nyaris menghabiskan “sisa” perasaan di hidupku.
PS: kelanjutan kisahnya baca aja di kaskus yak.. hehe tapi belom tamat. mentok di tengah jalan :D
0 komentar:
Posting Komentar