Senin, 20 Juli 2015

Kemarau Agustus

 Kemarau Agustus
By: Lia Maryani
 



Mencintaimu adalah seperti angin
Kemana ia pergi, aku akan ikut
Karena aku dedaunan yang bersembunyi,
Di balik tangkai yang tak lagi kokoh
Tapi aku kehilangan arah angin di persimpangan jalan
Karena angin berembus dan berlalu begitu cepat,
Digantikan debu-debu sisa kemarau
Yang memeluk erat lalu membuat dedaunan terlepas,
Jatuh ke dasar tempat hembusanmu tertinggal

Menginginkanmu adalah seperti ombak
Menyentuh kaki-kaki kecil dengan lembut,
Menariknya dan membuatnya terjatuh lebih dalam
Tapi kaki kecil itu enggan kembali,
Membiarkan dirinya dibawa jilatan ombak
Yang menjanjikan mutiara di dasar lautan

Membenamkanmu dalam pikiran adalah seperti api
Yang gemeletuknya semakin besar,
Saat aku berusaha mengeluarkanmu dari ingatan
Dan aku segera membalut kulit yang robek
Mengingat diriku yang terlanjur jatuh dan terluka

Mengejarmu seperti berlari mengikuti bayangan
Yang jaraknya tak pernah terduga
Namun saat diriku terduduk,
Untuk memahami jejak yang tersisa di belakangku
Kulihat bayangmu diantara rerumputan yang menutup kesunyian

Aku ingin mencintaimu seperti hujan,
Yang airnya membasuh dedaunan di bumi yang retak
Yang airnya melawan ombak yang menelan kakimu merdu
Yang airnya menutup jilatan api di kemarau Agustus
Yang airnya menghapus jarak untuk menyentuh bayangmu
Yang airnya mengisi sebagian dari diriku yang hilang,
Yang baru saja kau ambil


Bandung, 20 Juli 2015.

Selasa, 23 Juni 2015

Ulang Tahun (Fiksi)


Mei, di Perayaan Ulang Tahunmu.

Pagi itu kamu dalam tawa bahagiamu, lalu satu per satu dari sekelilingmu menjabat tanganmu, kamu tersenyum dan balas menyalami mereka.

Kamu terlihat lebih cantik dengan gaun merah muda bermotif kupu-kupu di salah satu ujung lengan bajumu, senada dengan sepatu yang kau kenakan. Cantik, tapi tidak berlebihan. Rambut coklatmu dibiarkan terurai di bahu kananmu.

Kamu selalu suka kupu-kupu. Kamu bilang mereka indah, mereka cantik, mereka begitu sabar dan begitu tegar saat bermetamorfosa lalu memiliki sayap tuk kemudian terbang bersama kawan-kawannya. Dan itu.... Benar-benar cantik.

Aku bilang, bagaimana kalo kupu-kupu itu dimakan burung atau saat kupu-kupu itu terbang, sayap mereka patah, ah atau mungkin ditangkap oleh seorang anak kecil dan mereka menjadikan kupu-kupu itu bahan mainan, atau bahkan mengambil sayap itu. Itu terlalu mengerikan.

Lalu kamu tersenyum padaku. Kamu bilang bahwa aku terlalu berlebihan. Kupu-kupu selalu menjadi bagian dalam hidupmu, karena seberapapun mereka terbang lalu terjatuh karena sayap-sayap mereka patah, tapi ia kan bermetamorfosa kembali walau itu membutuhkan penantian yang panjang. Ia selalu menunggu saat-saat itu walau kini sayapnya telah patah.

Kini aku mengerti alasan kamu begitu menyukai makhluk kecil indah itu. Ah, setidaknya itulah yang kamu katakan sejak dulu. Jauh sebelum hari perayaan ini.

Aku ragu-ragu untuk menyalamimu. Aku hanya bisa tersenyum untukmu, tapi kamu melihatku lalu segera mengajakku bergabung dengan kawan-kawanmu. Kamu tersenyum pada pria ini, pria yang mungkin juga sekarang mengagumi kupu-kupu. Maksudku, mungkin telah megagumimu.

Sepanjang hari aku hanya bisa duduk dan sedikit bergurau denganmu. Tapi kamu nampaknya sibuk dan aku mengerti, kamu harus menemani mereka, kawan-kawanmu. Lalu kamu tertawa kecil bersama mereka. Inilah hari bahagiamu, dan aku ingin membuatmu tersenyum.
---

"Diva... Selamat ulang tahun ya. Kamu... Terlihat lebih cantik."

"Terimakasih, Manny." Ujarmu, dan kini kamu benar-benar tersenyum...padaku.

Pikirian-pikiran itu berebut memenuhi otakku. Aku terhenyak dari lamunanku. Sial, itu hanya dalam bayanganku saja. Kini aku merasa sepi kembali di tengah keramaian ini. Aku terduduk bisu di pojokan kursi tamu. Teman-temanku sibuk bergurau dan mencoba menggodaku. Tapi aku pura-pura tak mendengar. Beberapa saat kemudian terdengar gelak tawa mereka. Riuh. Tapi aku tak pedulu, karena aku telah dihipnotis sang kupu-kupu cantik.

Aku memberanikan diri tuk menemani sang kupu-kupu cantik. Setidaknya di hari bahagianya ini, sahabat sejak lamanya ikut berbahagia. Aku tak mengacuhkan kawan-kawanku yang masih sibuk tertawa di belakangku. Aku hanya bisa melangkahkan kakiku, dan kemudian bermetamorfosa menjadi kupu-kupu (tampan) untuk mengajaknya terbang. Aku hanya membutuhkan 5 langkah pasti tuk meraihnya.

Langkah pertama dengan mudah kuraih. Kedua, ketiga dan keempat mudah saja. Tapi aku terhenti di langkah keempat menuju ke lima. Sebutir telur yang telah menetas menjadi ulat kecil lalu ulat dewasa yang terperangkap dalam sangkar kepompong. Aku tak bisa berkutik sedikitpun. Aku terlalu beku, seseorang tak bisa mengeluarkanku dari perangkap ini. Lalu aku hanya bisa melihat kamu di balik penjara yang mengikatku, dengan seseorang yang lain, yang selalu membuatmu tersenyum, terlebih di hari perayaan ini.

Cukup, aku tak bisa mengatakan apapun lagi. Aku hanya bisa menunggu, karena waktu lah yang selalu setia menyapaku. Hingga saat itu datang, mungkin aku akan terbebas dan memulai semuanya dari awal. Aku pria yang terlalu rapuh, berbeda denganmu yang selalu menyapa ramah pada sekelilingmu. Aku, pria yang hanya bisa tersenyum kecil, dan sekarang aku ingin pulang. Meninggalkan sebagian hatiku dalam hari bahagiamu. Mungkin, jika kau menyadari itu, kamu dengan berbaik hati akan mengembalikan sebagian hati itu. Tapi, tak apa jika kamu tidak mengembalikannya. Karena aku ingin kamu menyimpannya, setidaknya sampai waktu benar-benar menyapaku.

Perasaan itu bercampur aduk. Aku membutuhkan sang waktu untuk menemaniku. Aku memilih diam dan tak berucap sepatah kata pun padamu. Aku takut kamu tidak selalu tersenyum.
Aku pulang dengan perasaan goyah, masih di balik perangkap berukuran kecil, karena jika aku tidak segera pulang, perangkap itu akan semakin membeku... Di tempat itu dan mungkin kamu tidak akan menemukanku walaupun kamu ingin mencariku.

Jumat, 22 Mei 2015

Perempuan di Balik Hujan (A Story)

Sinopsis:

Dia selalu membangga-banggakannya. Dia selalu memamerkannya, memangnya kenapa? Kalau aku memilikinya, tak perlu berlebihan layaknya anak kecil yang dijanjikan balon oleh ibunya untuk sekedar “meredam” tangis sesaat.

Dia punya segalanya. Dia bisa memilikinya. Tapi aku? Aku punya orang-orang hebat di sekitarku…. Amih, Apih, Bang Leo, Mamang, Maryam, Lily, Hasan, Otong, Dilla, dan Rara.

Dia… ah sudahlah. Perempuan itu mencintai laki-laki yang sama. Dia tahu itu. Kita sama-sama tahu. Aku terluka, namun entah bagaimana dengan dia. Aku tak peduli lagi. Tapi sebagian diriku yang lain mengingkari untuk tak peduli dengan laki-laki itu. Aku mencintainya.

Hingga suat saat aku pergi menjauh, bukan karena tak sanggup melihat dia bersama dirinya. Tapi satu mimpi besarku menunggu disana, di daratan jauh ratusan kilometer darinya.
Saat aku kembali, apakah semuanya berbeda? Akankah berubah seperti dulu, sebelum “kamu” mengenal perempuan itu?

Karena aku percaya, waktu takkan tega menghianati….


Prolog: Aku Melihat Sketsa Wajahmu
 
Dia mengaduk-ngaduk kopi di hadapannya, setidaknya sejak beberapa menit lalu saat pandanganku tak sengaja tertuju ke arahnya. Namun tatapannya tak tertuju pada satu titik pun, ia membebaskannya. Entah apa yang sedang dipikirkan pria itu, nampaknya secangkir kopi yang ia pesan pun sudah terlanjur dingin. Ia sendirian di meja itu, hanya ditemani beberapa buah buku semacam jurnal dan satu buku agak tebal, dengan laptop setengah tertutup.

“Vin…”

Aku tersadar dari lamunanku sendiri, maksudku terbangun dari pikiranku yang menebak-nebak apa yang terjadi pada pria yang duduk tak jauh di depan meja kami.

“Kok bengong?” Maryam melambaikan tangan kanannya tepat di depan wajahku.

“Liat deh pria itu, kasian ya, lagi galau berat kayaknya.. sampe segitunya.”


“Haha, kamu dari tadi ngeliatin dia?”
balas Maryam.

Aku cuma mengedikkan bahu sebagai balasan pertanyaan Maryam tadi.
---

Hari itu adalah pertemuan yang sangat spesial dengan sahabatku Maryam, setelah tiga tahun kami berpisah dan masuk Universitas yang berbeda, di kota yang berbeda pula. Namun entah mengapa aku selalu tertarik memandang ke arah pria dengan tatapan kosong itu. Aku baru menyadari suatu hal dalam diri pria itu yang juga mirip dengan…. Seseorang di masa lalu yang udah membiarkan sekeping hati ini terluka, amat dalam.
Tapi aku buru-buru menghilangkan ingatan itu, karena aku sadar hari ini jarang banget bisa ditemukan.

Waktu untuk bertemu sahabat akan sangat berharga dibanding memikirkan hal yang “kurang” jelas. Tapi sebagian dari sel neuron ini menolak, tiba-tiba saja ingatanku melayang ke masa-masa itu, dua tahun yang benar-benar udah menguras banyak waktu, pikiran dan nyaris menghabiskan “sisa” perasaan di hidupku.



PS: kelanjutan kisahnya baca aja di kaskus yak.. hehe tapi belom tamat. mentok di tengah jalan :D

Kamis, 21 Mei 2015

Melangkah

Melangkah
By: Lia Maryani


Jauh…
Hatiku tertinggal
Bersama sinar mentari
Yang menyilaukan
Menerpa wajahku
Lama
Cukup lama,
Semenjak kau pergi meninggalkan kepingan hati,
Yang terlanjur menjadi debu, serupa elektron

 

Seketika itu juga..
Rembulan datang
Memeluk erat sebagian hati yang tersisa
Lalu ia menengadah,
Tersenyum pada bulan
Ingin ia bercerita padanya
Sekejap,
Sebagian hatinya ia berikan
Untuk rembulan


Bandung, 21 Mei 2015



Perempuan di Balik Hujan



Sambutan:
Sepenggal cerita ini didedikasikan untuk sahabat ane, karena terinspirasi dari kisahnya, setengah non fiktif dan sisanya fiktif. Sahabat ane juga sudah mengizinkan cerita ini buat diposting. Nama yang digunakan juga nama khayalan, tapi ada juga beberapa yang “mirip-mirip”. Kami bersahabat 7 orang sejak kelas 1 SMA, di dalam cerita ini gak hanya dikisahkan tentang perjalanan cinta salah seorang sahabat ane yang disini bernama “Vin”, tapi juga sedikit menceritakan masing-masing tokoh di dalam kelompok persahabatan ini. Namun tetap, tokoh utama adalah Vin.

Vin, perempuan di balik hujan, yang hanya mampu mencintai seseorang dalam diam.. entah sampai kapan ia bisa memendam perasaannya..

Catatan Hati Vin:

Aku, yang mengagumimu sejak kau belum mengenalku. Memperhatikan gerak-gerikmu, caramu berbicara, caramu tertawa, bahkan caramu berjalan yang kupikir seperti “penguin” dan itu sangat lucu. Aku hanya mampu mendeskripsikan itu semua melalui lagu yang kudengarkan. Dan karena cintamu sulit kusentuh, aku hanya mampu mencintaimu dalam diam.

Kamu seolah tak bisa mendengar teriakanku, tak bisa sedikitpun merasakan detak jantungku, padahal jarak diantara kita begitu dekat. Sekilas terdengar klise saat aku bilang hanya kamulah yang selalu mengganggu pikiran ini. Tapi coba kamu lihat lebih dalam apa yang sebenarnya terjadi di luar duniamu.


Ah aku lupa, kamu selalu bahagia dalam duniamu, tentu. Duniamu terlalu luas untuk sekedar melihatku yang terkurung dalam fantasi dan metafora senja yang berukuran nanometer bagimu dan kau tidak ingin melihat senja. Yang kamu mau hanyalah mentari yang menyapa hangat wajahmu, bukannya rembulan yang hanya mampu membiaskan cahaya.


Aku mencoba menjadi pelangi untukmu saat percikan hujan membasahi tubuhmu. Tapi kamu memalingkan wajahmu, menolak melihat spektrum warna itu karena kamu bilang tidak menyukainya. Perlahan aku mundur agar kamu bisa tersenyum kembali.


Lalu aku mencoba menjadi oksigen untukmu. Kali ini aku pasti berhasil karena siapapun tak akan menolak dalam hal ini. Tapi aku salah, ada jutaan bahkan sekian giga atau lebih senyawa oksigen disini, aku kalap. Aku hanya berukuran satu kali sepuluh pangkat minus sekian dan tak perlu berusaha mundur pun aku telah tamat, domain ruang tidak menyisakan satu celahpun untukku.


Maka aku ingin menjadi hujan dan menyusup jatuh melalui jendela rumahmu. Lalu aku bisa menyapamu, dan kau keluar dari istanamu lalu berdiri menengadah ke langit dan kau tetap merelakan dirimu disapa hujan.


- Vin, Perempuan di Balik Hujan -

Senin, 11 Mei 2015

Perempuan di Balik Hujan ~ Intro


Cinta terkadang membingungkan. Ia bisa menjadi suatu bagian dalam mekanika klasik, sulit untuk menembus hati karena cinta begitu terlihat dan tampak nyata, ia tak bisa membedakan yang mana ilusi dan yang sungguh dapat disentuh. Sedangkan ilmu klasik butuh kepastian. Cinta juga bisa menjadi mekanika kuantum, ada kemungkinan kamu dapat menembus sekeping hati, dengan panjang gelombang cinta yang lebih besar. Tapi sayangnya seberapapun kita berusaha memperkecil massa dari tindak lanjut perasaan itu sendiri agar panjang gelombang semakin besar, tetapan planck adalah mutlak berukuran mikro.

Tak ada yang dilanggar dalam hal ini. Kedua teorema tersebut mungkin benar. Hanya saja terkadang kita menempatkan cinta pada hati yang mungkin tak menginginkannya. Maka sejatinya cinta itu adalah udara, ia bebas melebur bersama kepingan hati yang terlanjur menjadi partikel atomik lainnya. Tak peduli kemana arah medan magnet bumi menariknya. Tak peduli bidang geoid bumi sekalipun membiarkannya pergi ke domain ruang hampa, karena gravitasi akan selalu membawanya pulang. Ia pun bisa menjadi tambatan gelombang saat merambat, tapi tidak untuk semua, namun untuk beberapa yang ingin singgah.