Selasa, 23 Juni 2015

Ulang Tahun (Fiksi)


Mei, di Perayaan Ulang Tahunmu.

Pagi itu kamu dalam tawa bahagiamu, lalu satu per satu dari sekelilingmu menjabat tanganmu, kamu tersenyum dan balas menyalami mereka.

Kamu terlihat lebih cantik dengan gaun merah muda bermotif kupu-kupu di salah satu ujung lengan bajumu, senada dengan sepatu yang kau kenakan. Cantik, tapi tidak berlebihan. Rambut coklatmu dibiarkan terurai di bahu kananmu.

Kamu selalu suka kupu-kupu. Kamu bilang mereka indah, mereka cantik, mereka begitu sabar dan begitu tegar saat bermetamorfosa lalu memiliki sayap tuk kemudian terbang bersama kawan-kawannya. Dan itu.... Benar-benar cantik.

Aku bilang, bagaimana kalo kupu-kupu itu dimakan burung atau saat kupu-kupu itu terbang, sayap mereka patah, ah atau mungkin ditangkap oleh seorang anak kecil dan mereka menjadikan kupu-kupu itu bahan mainan, atau bahkan mengambil sayap itu. Itu terlalu mengerikan.

Lalu kamu tersenyum padaku. Kamu bilang bahwa aku terlalu berlebihan. Kupu-kupu selalu menjadi bagian dalam hidupmu, karena seberapapun mereka terbang lalu terjatuh karena sayap-sayap mereka patah, tapi ia kan bermetamorfosa kembali walau itu membutuhkan penantian yang panjang. Ia selalu menunggu saat-saat itu walau kini sayapnya telah patah.

Kini aku mengerti alasan kamu begitu menyukai makhluk kecil indah itu. Ah, setidaknya itulah yang kamu katakan sejak dulu. Jauh sebelum hari perayaan ini.

Aku ragu-ragu untuk menyalamimu. Aku hanya bisa tersenyum untukmu, tapi kamu melihatku lalu segera mengajakku bergabung dengan kawan-kawanmu. Kamu tersenyum pada pria ini, pria yang mungkin juga sekarang mengagumi kupu-kupu. Maksudku, mungkin telah megagumimu.

Sepanjang hari aku hanya bisa duduk dan sedikit bergurau denganmu. Tapi kamu nampaknya sibuk dan aku mengerti, kamu harus menemani mereka, kawan-kawanmu. Lalu kamu tertawa kecil bersama mereka. Inilah hari bahagiamu, dan aku ingin membuatmu tersenyum.
---

"Diva... Selamat ulang tahun ya. Kamu... Terlihat lebih cantik."

"Terimakasih, Manny." Ujarmu, dan kini kamu benar-benar tersenyum...padaku.

Pikirian-pikiran itu berebut memenuhi otakku. Aku terhenyak dari lamunanku. Sial, itu hanya dalam bayanganku saja. Kini aku merasa sepi kembali di tengah keramaian ini. Aku terduduk bisu di pojokan kursi tamu. Teman-temanku sibuk bergurau dan mencoba menggodaku. Tapi aku pura-pura tak mendengar. Beberapa saat kemudian terdengar gelak tawa mereka. Riuh. Tapi aku tak pedulu, karena aku telah dihipnotis sang kupu-kupu cantik.

Aku memberanikan diri tuk menemani sang kupu-kupu cantik. Setidaknya di hari bahagianya ini, sahabat sejak lamanya ikut berbahagia. Aku tak mengacuhkan kawan-kawanku yang masih sibuk tertawa di belakangku. Aku hanya bisa melangkahkan kakiku, dan kemudian bermetamorfosa menjadi kupu-kupu (tampan) untuk mengajaknya terbang. Aku hanya membutuhkan 5 langkah pasti tuk meraihnya.

Langkah pertama dengan mudah kuraih. Kedua, ketiga dan keempat mudah saja. Tapi aku terhenti di langkah keempat menuju ke lima. Sebutir telur yang telah menetas menjadi ulat kecil lalu ulat dewasa yang terperangkap dalam sangkar kepompong. Aku tak bisa berkutik sedikitpun. Aku terlalu beku, seseorang tak bisa mengeluarkanku dari perangkap ini. Lalu aku hanya bisa melihat kamu di balik penjara yang mengikatku, dengan seseorang yang lain, yang selalu membuatmu tersenyum, terlebih di hari perayaan ini.

Cukup, aku tak bisa mengatakan apapun lagi. Aku hanya bisa menunggu, karena waktu lah yang selalu setia menyapaku. Hingga saat itu datang, mungkin aku akan terbebas dan memulai semuanya dari awal. Aku pria yang terlalu rapuh, berbeda denganmu yang selalu menyapa ramah pada sekelilingmu. Aku, pria yang hanya bisa tersenyum kecil, dan sekarang aku ingin pulang. Meninggalkan sebagian hatiku dalam hari bahagiamu. Mungkin, jika kau menyadari itu, kamu dengan berbaik hati akan mengembalikan sebagian hati itu. Tapi, tak apa jika kamu tidak mengembalikannya. Karena aku ingin kamu menyimpannya, setidaknya sampai waktu benar-benar menyapaku.

Perasaan itu bercampur aduk. Aku membutuhkan sang waktu untuk menemaniku. Aku memilih diam dan tak berucap sepatah kata pun padamu. Aku takut kamu tidak selalu tersenyum.
Aku pulang dengan perasaan goyah, masih di balik perangkap berukuran kecil, karena jika aku tidak segera pulang, perangkap itu akan semakin membeku... Di tempat itu dan mungkin kamu tidak akan menemukanku walaupun kamu ingin mencariku.